Rabu, 02 Juli 2014

Kapal dan pelabuhannya.


"Nobody said it was easy
It's such a shame for us to part
Nobody said it was easy 
No one ever said it would be this hard 
Oh, take me back to the start." 

Lagu The Scientist - Coldplay terus terngiang-ngiang dikepala gadis bermata besar itu, membawa kenangan yang datang karena mimpi semalam yang memaksanya kembali berpusat pada satu titik, titik yang sudah lama ia ingkari, sebuah titik pusat yang membuat semuanya stagnan. termasuk perasaannya.

Entah sudah berapa lama ia pergi, entah udah berapa ratus kilometer ia telah berjalan menjauh, entah sudah berapa banyak ia mencoba kapal lain dan mencoba untuk berlabuh disebuah pelabuhan baru, entah sudah berapa ratus juta kalori yang terkuras hanya untuk memikirkan ia harus memilih kapal dan berlabuh dipelabuhan yang mana, entah sudah berapa kali senja yang ia lewatkan begitu saja tanpa arti, dan entah sudah berapa ratus orang yang mentertawakan ketololan yang sudah berlangsung hamper 2 tahun lebih itu. Sudah lebih dari 720 kali bumi berotasi berganti siang dan malam, sudah lebih dari 62 juta dentingan jam yang ia dengar, sudah lebih dari 10 kapal yang ia tumpangi, tapi hasilnya tetap sama. Selama apapun ia telah pergi, sejauh apapun ia sudah berjalan menjauh, berapa banyakpun kapal yang sudah datang dan pergi, dan berapa kilogram kalori yang sudah terkuraspun ternyata tetap tak cukup untuk membuatnya kembali seperti dulu, sebelum ia mengenal lelaki itu.Ia sudah benar-benar kelelahan, entah harus selama apa lagi ia harus pergi, sejauh apalagi ia berjalan, dan berapa banyak kapal lagi yang harus ia coba tumpangi, ia sudah tidak tahu lagi harus bagaimana, sungguh. Apapun yang ia lakukan semuanya terlihat sia-sia, hasilnya tetap sama, ia hanya ingin kapal dan pelabuhan yang dulu.

Seperti tata surya, banyak objek yang mengelilingi matahari dan semua objek itu terikat oleh gaya gravitasinya. bedanya, sekarang planetnya hanya satu, gadis bermata besar dengan tatapan yang begitu tajam itu, saja. sementara lelaki itu adalah mataharinya. Sekeras apapun ia mencoba untuk memutuskan perngaruh gravitasi itu, gayanya tetap masih bersisa, ia tak pernah benar-benar lepas. Ia terperangkap dan mandek di lintasan yang sama dan tetap berotasi pada matahari yang sama. masih sama sampai hari ini, dan entah sampai kapan ia sudah tidak ingin memikirkannya lagi, ia akan membiarkan semuanya berjalan seperti adanya saja, menikmati segala sisa-sisa pengaruh itu, sampai gravitasi itu benar-benar hilang dengan sendirinya, dan sebenarnya entah seandainya pun ia benar-benar bisa terlepas dari gravitasi yang satu itu, apa ia akan selamat? Apa matahari selanjutnya tidak akan membuatnya seperti ini lagi? Entahlah.

Potongan lirik lagu The Scientist masih terdengar mengalun pelan, masih sesak. 

"Tell me you love me, come back and haunt me
Oh and I rush to the start
Running in circles, chasing our tails
Coming back as we are"

Nikmati sajalah, sesaknya. sampai benar-benar terbiasa sampai kamu tak bisa merasakan sesaknya lagi. sembari menunggu matahari baru menyinari dunia mu dan menjadi titik pusat kehidupanmu. Bersalabarlah.. Ucapnya pada diri. Bila saatnya tiba, semua ini tak akan berarti apa-apa lagi. Ia meyakinkan dirinya, lagi.

0 komentar:

Posting Komentar

Widiya Ningrum. Diberdayakan oleh Blogger.

Recent Posts

AmazingCounters.com

Instagram Shots


Instagram

Tumbler